TOXIC POSITIVITY: Berfikir positif tak sesederhana itu
Rebelworks Newsletter - October
2020-10-05
Pandemi ini telah memberikan dampak yang signifikan terhadap kesehatan mental kita. Banyaknya masalah yang muncul, mulai dari ekonomi maupun kesehatan, situasi ini telah membawa banyak kehilangan juga ketidakpastian dalam kehidupan kita masing-masing. Tentu kita merasakan keinginan untuk mendukung teman-teman dan kerabat kita dengan kata-kata semangat. Namun, tanpa kita sadari, niat tersebut mungkin malah mempunyai dampak yang negatif bagi orang lain.
Ada kalanya kata-kata penyemangat justru terasa menyengat bagi orang-orang yang sedang bermasalah. Bagi sebagian orang, kata-kata “don’t give up”, “kamu masih lebih beruntung dari yang lainnya”, atau “be positive” cukup ampuh mematahkan pikiran dan perasaan buruk mereka. Namun, bagi sebagian lainnya, hal tersebut justru membuat mereka makin merasa kecil diri, bahkan bisa menjadi pemicu gangguan psikis. Sikap positif yang destruktif itulah yang dinamakan Toxic Positivity
Mengapa dorongan “be positive” bisa berdampak negatif?
Tidak semua orang butuh disemangati saat mereka bercerita soal perasaan negatif atau pengalaman buruknya. Sering kali, yang di sekeliling mereka mengatakan hal-hal yang seakan-akan positif, padahal bukan itu yang sedang dibutuhkan orang yang bermasalah.
Setiap emosi itu punya pesan, baik itu marah, sedih, bahagia, kecewa, takut dan sebagainya. Kalau emosi-emosi tersebut disangkal atau dipendam demi terus terlihat positif atau bahagia di depan orang-orang, yang ada emosi negatifnya menumpuk, kemudian bisa memicu stres dan sakit psikis serta fisik alias psikosomatis.
Lalu bagaimana kita bisa membedakan sikap-sikap positif yang toxic dan yang sesuai?
Menurut Santoso Aji, seorang pegiat kesehatan mental, dorongan untuk berpikir dan bersikap positif yang toxic adalah yang menyamaratakan/mengeneralisir berbagai situasi dan kondisi yang dihadapi seseorang. Dorongan untuk terus positif memungkinkan diberikan dalam situasi normal atau seseorang dalam kondisi puncak. Namun ketika seseorang jatuh dan ia tidak tahu bagaimana untuk bangkit kembali, semangat untuk positif justru dapat beresiko membuat frustasi karena seperti meremehkan persoalan yang ia hadapi. Dengan demikian, mesti berhati-hati untuk memberikan dorongan positif jika kita tidak memahami apa yang orang lain alami, atau tidak dapat memberikan alternatif solusi. Positivity yang sesuai adalah ketika kita benar-benar memahami persoalan yang terjadi dan sekaligus dapat memberikan alternatif yang mencerahkan.
Misalnya seperti ini, “Dalam situasi ini, sepertinya sulit ya melihat hal-hal yang baik. Saya mencoba memahami”, “Wajar kalau kamu merasa kecewa dalam keadaan ini”, “Aku pikir kamu pasti merasa berat saat ini, ya…” adalah beberapa contoh ungkapan yang bisa lebih dulu disampaikan saat melihat teman diliputi perasaan negatif alih-alih mencekokinya langsung dengan kata-kata motivasi atau dorongan berpikir dan bersikap positif.
So, menyemangati dan mendukung seseorang yang sedang mengalami masalah itu perlu ya, tapi bukan dengan penyemangat yang justru menjadi racun.
Have a great start to the week everyone!
© Rebelworks